My Hot Videos



Makalah : Politik Islam dan Masyarakat Madani

Saturday, April 18, 2015

MAKALAH
POLITIK ISLAM DAN MASYARAKAT MADANI

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam konteks politik, Indonesia mengalami kesulitan yang cukup serius dalam membangun hubungan politik antara agama (Islam) dengan negara. Hal ini juga terjadi di negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Maroko, Aljazair, Libia, Pakistan, dan Turki. Hubungan politik antara Islam dan negara di negara-negara tersebut ditandai oleh ketegangan-ketegangan yang tajam, jika bukan permusuhan (Bahtiar Effendy, 1998 : 2).
Secara umum kesulitan hubungan tersebut dapat dilihat dalam dua perdebatan pokok. Pertama, kelompok yang menghendaki adanya kaitan formal antara Islam dan negara baik dalam bentuk negara Islam, Islam sebagai agama negara. Kedua, kelompok yang menentang kaitan antara Islam dan negara dalam bentuk apapun. Konstruksi paradigma keagamaan yang berbeda dapat membentuk sistem aplikasi dalam konteks politik yang berbeda pula. Selanjutnya muncul dua kelompok yaitu kelompok tradisionalis dan kelompok modernis.
Politik Islam di Indonesia sekarang diwarnai dengan implementasi model masyarakat yang disebut “masyarakat madani”. Secara umum masyarakat madani sering dipahami sebagai masyarakat sipil (civil society). Masyarakat sipil mulai mendapatkan angin segar untuk banyak berkiprah di pemerintahan dan dapat menduduki berbagai jabatan penting di negara ini. Namun, disisi lain hasil yang dicapai dari pencanangan masyarakat madani ini sudah tidak sesuai dengan prinsip awalnya. Yang tampak hanyalah kebebasan warga sipil untuk melakukan apa saja tanpa harus memperhatikan prinsip-prinsip masyarakat madani yang sesungguhnya, yakni yang memiliki prinsip-prinsip dasar tersendiri.

B. Batasan masalah
1. Prinsip-prinsip dasar politik Islam
2. Konsep masyarakat madani dan prinsip-prinsipnya
3. Politik Islam dan masyarakat madani di Indonesia
4. Piagam Madinah


PEMBAHASAN

A. Prinsip-prinsip dasar politik Islam
1. Pengertian Politik Islam
Politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)
Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat muslim 
Namun, realitas politik yang benar kini menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya yang menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
2. Teori politik Islam dan tokoh-tokohnya
Sebagian pemeluk Islam mempercayai bahwa Islam mencakup cara hidup yang total. Nazih Ayubi (dalam Bahtiar Effendy, 1998:7) mengatakan bahwa umat Islam percaya akan sifat Islam yang sempurna dan menyeluruh, sehingga menurut mereka Islam meliputi din (agama), dunya (dunia), dan dawlah(Negara). Karena itu, Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah semua kehidupan.
Realisasi sebuah masyarakat Islam dibayangkan dalam penciptaan sebuah Negara Islam, yakni sebuah “Negara Ideologis” yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Islam yang lengkap. Pandangan seperti itu mengemuka praktiknya di berbagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kendala utama untuk mengekspresikan ide ini di Indonesia adalah adanya dasar negara Pancasila yang mengakomodasi semua agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, sehingga sulit untuk mengekspresikan ajaran sebuah agama (baca : Islam) dalam pentas politik secara total dan mengabaikan kepentingan agama-agama lainnya. Dalam contohnya yang ekstrim, kecenderungan seperti ini telah menghalangi sementara kaum muslim untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan Al-Quran sebagai instrumen Ilahilah yang memberikan pandangan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia (Bahtiar Effendy, 1998:9).
Dalam salah satu bukunya, Islam dan tata Negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran (1993), Munawwir Sadzali menguraikan pemikiran politik Islam dari beberapa pemikir muslim mulai masa klasik sampai masa modern, seperti pemikiran Ibnu Abi Rabi’, Al-Farabi, Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun (masa klasik dan pertengahan), Jamaluddin Al-Afghani, Muhamad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Ali Abdur Raziq, Al-Ikhwan Al-Muslimun, Al-Maududi, dan Muhammad Husain Haikal (masa modern).
Dari pikiran-pikiran mereka, Munawir Sadzali mengklasifikasikannya menjadi tiga model atau aliran pemikiran, yaitu:
a. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam buknlah semata-mata agama dalam pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, akan tetapi sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh-tokoh utama aliran ini antara lain Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Muhammad Rasyid Ridla, Al-Maududi.
b. Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yakni agama tidak mempunyai hubungan dengan urusan kenegaraan. Tokoh-tokoh terkemuka dari aliran ini antara lain Ahmad Lutfi Sayyid, Ali Abdul Raziq, dan Thaha Husain.
c. Aliran ketiga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh dari aliran ini adalah Muhammad Husain Haikal (Munawir Sadzali, 1993:1-2)
Terlepas dari ketiga bentuk aliran pemikiran di atas, ada dua bentuk praktik politik Islam di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu :
a. Secara legal-formal menjadikan Islam sebagai dasar negaranya. Syariah (Hukum Islam) dijadikan di iran dan beberapa negara Islam di Timur Tengah.
b. Tidak secara legal-formal menjadikan Islam sebagai dasar negaranya dan syariah sebagai kontitusinya, tetapi prinsip-prinsip atau nilai-nilai Islam yang umum dan universal ikut mewarnai praktik politik di negara-negara tersebut. Aliran ini lebih menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal-formal.
Dua model politik Islam yang hingga sekarang terus berkembang di berbagai Negara Islam atau yang mayoritas penduduknya beragama Islam dengan perbedaan-perbedaan tertentu di masing-masing negara tersebut. Beberapa pemikiran politik (teori politik) seperti di atas bias dijadikan acuan dalam melihat hubungan Islam dan negara di Indonesia yang mengalami pergeseran seiring dengan pergantian rezim yang berkuasa. Dominasi partai-partai Islam di berbagai institusi kenegaraan menjadi bukti dari keleluasaan umat Islam dalam menyalurkan aspirasi atau mungkin ambisi politiknya melalui partainya masing-masing.
3. Prinsip-prinsip politik dalam Islam
Prinsip-prinsip politik Islam, terutama terkait dengan kepemimpinan, ditinjau dari perspektif Al-Quran dan hadist bias dijelaskan seperti berikut ini:
a. Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin (QS. al-Nisa’ (4):144), orang  -orang Yahudi dan Nasrani (QS. Al-maidah (5):51-53), orang-orang yang mempermainkan agama atau mempermainkan shalat (QS. Al-Maidah (5):56-57), musuh Allah SWT. dan musuh orang mukmin (QS. Al-Mumtahanah (60):1), dan orang-orang yang lebih mencintai kekufuran daripada iman (QS. al-Taubah (9):23).
b. Setiap kelompok harus memilih pemimpin sebagaimana dijelaskan dalam hadis: “jika tiga orang melakukan suatu perjalanan, angkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin” (HR. Abu Dawud).
c. Pemimpin haruslah orang-orang yang dapat diterima.
d. Pemimpin yang maha mutlak hanyalah Allah SWT. sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran (QS. Al-mulk (67):1) dan (QS. Al-Maidah (5):18).
e. Kepemimpinan Allah SWT. terhadap alam ini sebagian didelegasikan kepada manusia, sesuai yang dikehendaki-Nya.
f. Memperhatikan kepentingan kaum muslimin.
Shalahuddin Sanusi (1964) merumuskan dasar-dasar kepemimpinan dalam Islam sebagai berikut:
a. Persamaan dan persaudaraan
b. Dalam kehidupan bersama masyarakat yang dipimpinnya harus menegakkan dan memelihara hubungan persaudaraan.
c. Kepemimpinan itu merupakan amanat, tugas, atau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemimpin.
d. Dalam melaksanakan kepemimpinan ia harus selalu bermusyawarah untuk mengambil suatu keputusan (QS. Al-Syura (42):38).
e. Hukum itu hanyalah pada Allah SWT. dan pemimpin diamanati oleh masyarakat untuk melaksanakannya.
f. Ketaatan ummat kepada pemimpin. Umat wajib taat kepada pemimpin yang mereka amanati untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang dipercayakan kepadanya
B. Konsep masyarakat madani dan prinsip-prinsipnya
1. Pengertian masyarakat madani
Istilah ‘madani’ berasal dari bahasa arab ‘madaniy’. Kata ‘madany’ berakar pada kata kerja ‘madana’ yang artinya mendiami, tinggal, atau membangun. Dalam bahasa arab kata ‘madany’ mempunyai beberapa arti, di antaranya yang beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata (Munawwir, 1997:1320). Dari kata ‘madana’ muncul kata ‘madiniy’ yang berarti urbanisme (paham masyarakat kota). Dengan mengetahui makna kata ‘madani’ maka istilah masyarakat madani (Al-Mujtama’ Al-Madaniy) sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau yang berpaham masyarakat kota yang akrab dengan masalah pluralisme.
Dalam bahasa inggris diistilahkan civil society yang berarti masyarakat sipil.
a. Adam B. Seligman mendefinisikan civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai pertentangan kepentingan antara individu dengan masyarakat dan antara masyarakat sendiri dengan kepentingan Negara (Abdul Mun’im, 1994:6).
b. Menurut Havel, gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah upaya memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas apa yang mereka lakukan atas nama bangsa (Hikam, 1994:6).
Dua tinjauan konsep masyarakat madani, memiliki makna yang sama, yaitu menginginkan suatu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban dan demokratis. Konsep masyarakat madani (civil society) telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan sewenang-wenang di amerika latin, eropa selatan, dan eropa tuimur (Nurcholish Madjid, 1997:294).
Masyarakat Sipil vs Negara
Masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society) dalam wacana baku ilmu sosial pada dasarnya dipahami sebagai antitesa dari “masyarakat politik” atau negara. Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci dan lain-lain. Pemikiran mengenai masyarakat sipil tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi radikal kepada eksistensi negara karena peranannya yang cenderung menjadi alat kapitalisme.
Madani pada dasarnya adalah sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya. Muara dari pada itu adalah pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat adanya  partisipasi nyata anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya alat pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat. Dari definisi itu maka karakteristik masyarakat madani, adalah ditemukannya fenomena:
Pertama, Demokratisasi, menurut Neera Candoke (1995:5-5) social society berkaitan dengan  public critical rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang menjamin masyarakat madani. Pelaku politik dalam suatu negara (state) cenderung menyumbat masyarakat sipil, mekanisme demokarsi lah yang memiliki kekuatan untuk mengkoreksi kecenderungan itu.  Sementara itu untuk tumbuhnya demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran berpribadi, kesetaraan, dan kemandirian.
Kedua, Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik untuk terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi bilamana tersedia iklim yang memungkinkan otonomi individu terjaga. Antitesa dari sebuah masyarakat madani adalah tirani yang memasung secara kultural maupun struktural kehidupan bangsa dan menempatkan cara-cara manipulatif dan represif sebagai instrumentasi sosialnya. Sehingga masyarakat pada umumnya tidak memiliki daya yang berarti untuk memulai sebuah perubahan, dan tidak ada tempat yang cukup luang untuk mengekpresikan partisipasinya dalam proses perubahan. Pada masa orde baru cara-cara mobilisasi sosial lebih banyak dipakai ketimbang partisipasi sosial, sehingga partisipasi masyarakat menjadi bagian yang hilang di hampir seluruh proses pembangunan yang terjadi. Namun kemudian terbukti pemasungan partisipasi secara akumulatif berakibat fatal terhadap keseimbangan sosial politik, masyarakat yang kian cerdas menjadi sulit ditekan, dan berakhir dengan protes-protes sosial serta pada gilirannya menurunnya kepercayaan masyarakat kepada sistem yang berlaku. Dengan demikian jelaslah terbukti bahwa partisipasi merupakan karakteristik yang harus ada dalam masyarakat madani.
Ketiga, Penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan. Al-Qur’an menegaskan bahwa menegakan keadilan adalah perbuatan yang paling mendekati taqwa (Q.s. Al Maidah:5-8). Dengan demikian keadilan harus diposisikan secara netral, dalam artian, tidak ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh kebenaran di atas hukum. Demokrasi tanpa didukung oleh penghargaan terhadap tegaknya hukum akan mengarah pada dominasi mayoritas yang pada gilirannya menghilangkan rasa keadilan bagi kelompok lain yang lebih minoritas. Demikian pula partisipasi tanpa diimbangi dengan menegakkan hukum akan membentuk masyarakat tanpa kendali (laissez faire). Dengan demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergitas dari pengakuan hak-hak untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan pengakuan pada partisipasi rakyat, dimana dalam implentasi kehidupan peran hukum stategis sebagai alat pengendalian dan pengawasan dalam masyarakat. 
2. Prinsip-prinsip Dasar Masyarakat Madani
Didasarkan pada prinsip kenegaraan yang dijalankan pada masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan nabi Muhammad SAW. Masyarakat Madinah adalah masyarakat plural yang terdiri dari berbagai suku, golongan, dan agama. Menurut Al-Ummari (1995:63-120), ada beberapa prinsip dasar yang bias diidentifikasi dalam pembentukan masyarakat madani, diantaranya adalah:
a. Sistem Muakhah
Muakhah berarti persaudaraan. Islam memandang orang-orang muslim sebagai saudara (QS. Al-Hujurat(49):10). Dengan sistem ini nabi berusaha menanggulangi berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat Madinah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun kesehatan.
b. Ikatan Iman
Islam menjadikan ikatan iman sebagai dasar paling kuat yang dapat mengikat masyarakat dalam keharmonisan, meskipun tetap membolehkan, bahkan mendorong bentuk-bentuk ikatan lain, seperti kekeluargaan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip agama.

c. Ikatan Cinta
Nabi membangun masyarakat Madinah atas dasar cinta dan saling tolong menolong. Hubungan antara sesama mukmn berpijak atas dasar saling menghormati. Fondasi cinta ini dapat diperkokoh dengan saling memberikan hadiah dan kenang-kenangan. Dengan cinta inilah masyarakat Madinah dapat membangun masyarakat yang kuat.
d. Persamaan si Kaya dan si Miskin
Dalam masyarakat Madinah si kaya dan si miskin mulai berjuang bersama atas dasar persamaan Islam dan mencegah munculnya kesenjangan kelas dalam masyarakat.
e. Toleransi Umat Beragama
Toleransi ini diikat oleh aturan-aturan yang kemudian terdokumentasi dalam piagam Madinah
Itulah lima prinsip dasar yang dibuat oleh nabi untuk mengatur masyarakat Madinah yang tertuang dalam suatu piagam yang kemudian dikenal dengan nama Madinah. Masyarakat pendukung piagam ini memperlihatkan karakter masyarakat majemuk, baik ditinjau dari segi etnis, budaya dan agama. Di dalamnya terdapat etnis Arab muslim, Yahudi, dan Arab non-muslim.
Masih banyak konsep masyarakat madani yang berkembang di kalangan pemikir kita yang didekati dari konsep lain, bukan dari konsep seperti di atas. Salah satunya adalah konsep civil society (masyarakat sipil). Seorang pemikir Mesir, Fahmi Huwaydi (dalam Wawan Darmawan, 1999:21), berpendapat bahwa orang pertama yang membicarakan ‘pemerintahan sipil’ (civilian government) atau masyarakat madani adalah seorang filosof inggris, John Locke, di Perancis muncul JJ. Rousseau, yang terkenal dengan bukunya the social contract (1762). Dalam hal ini ia satu tujuan dengan Joh Locke, yaitu mengajak manusia untuk ikut menentuan hari dan masa depannya, serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elit yang berkuasa demi kepentingan manusia.
C. Politik Islam dan masyarakat madani di Indonesia
1. Kontelasi Politik Islam di Indonesia
Upaya-upaya untuk mencari penyelesaian yang memungkinkan atas soal Islam sebagai ideologi, baik dalam konteks Negara maupun perjuangan umat Islam, tak kunjung selesai. Hal ini terjadi bukan hanya karena lebarnya jurang perbedaan pendapat antara para aktivis dan pemikir politik yang terlibat dalam masalah ini, tetapi juga karena nuansa-nuansa kepentingan politik tertentu Presiden Soekarno dan tentara yang berkembang pada dasawarsa tengah hingga akhir 1950-an.
Partai Islam yang dibentuk pasca kemerdekaan adalah MASYUMI, PERTI, PSII, dan NU. Masyumi dibentuk dalam Muktamar ini diputuskan bahwa MASYUMI merupakan satu-satunya Partai Politik Islam Indonesia, dan MASYUMI lah yang akan memperjuanghkan nasib politik umat Islam Indonesia (A. Syafi’i Ma’arif, 1985: 111-112). Pada mulanya yang masuk masyumi hanyalah empat organisasi umat Islam, yaitu Muhammadiyah, Nu, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam.
Karena motif politik yang ditunjukkan oleh beragamnya kepentingan dalam tubuh partai tersebut, keutuhan masyumi sulit dipertahanan. PSII melepaskan diri dan berdiri sendiri tahun 1947 dan Partai NU yang berdiri tahun 1952. Sejak tahun 1952 ini maka di Indonesia terdapat empat partai Islam, YAITU MASYUMI, PSII, NU, dan PERTI yang sejak awal tidak mau bergabung dalam MASYUMI.
Pada masa orde baru kendali pemerintahan berpindah dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto. Pada masa ini ditandai dengan mulai berfungsinya partai-partai yang ada (25 partai menjadi 10 partai). Khusus partai-partai Islam – karena pengalamannya dalam pemilu 1972 – pada tahun 1973 berfungsi menjadi sebuah partai baru yang diberi nama partai persatuan pembangunan. Hubungan Islam dan Negara pada masa orde baru ini, menurut Abdul Aziz Thaba (1996:240-302) bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori hubungan, yaitu hubungan yang bersifat antagonistic (1966-1981), hubungan yang bersifat resiprokal-kritis (1982-1985), dan hubungan yang bersifat akomodatif (1986-1998). Hubungan yang antagonistic ini juga ditandai dengan berfusinya partai-partai Islam menjadi satu partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, pada tahun 1973. Tahun 1974 pemerintah mengeluarkan undang-undang perkawinan setelah melalui perdebatan yang cukup alot dalam SU MPR 1973.
Pada periode yang kedua (1982-1985) hubungan Islam dan Negara ditandai dengan proses saling mempelajari dan saling memahami posisi masing-masing. Periode ini diawali oleh political test yang dilakukan oleh pemerintah dengan menyodorkan konsep asas tunggal bagi orsospol dan selanjutnya untuk semua ormas yang ada di Indonesia. Adapun hubungan yang bersifat akomodatif (1986-1998) dimulai dengan penerimaan ormas-ormas Islam terhadap asas tunggal Pancasila. Mereka berupaya membatasi seminimal mungkin campur tangan pemerintah dalam urusan intern organisasi. Itulah gambaran hubungan Islam dan Negara pada masa orde baru yang bercirikan tiga sifat hubungan yang bertahap, dari yang antagonis hingga menjadi akomodatif.
2. Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia
Nabi membangun masyarakat Madinah yang berperadaban memakan waktu yang cukup lama, yakni sepuluh tahun. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-nya, yang dalam peristilahan kitab suci disebut semangat rabbaniyah (QS. Ali Imran (3):79) atau rabbiyah (QS. Ali Imran (3):146). Setelah nabi wafat, masyarakat madani warisan nabi hanya berlangsung selama tiga puluh tahun masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Sesudah itu, sistem sosial masyarakat madani digantikan dengan sistem lain yang lebih banyak diilhami oleh semangat kedukuan atau tribalisme arab pra-Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau genealogis.
Masyarakat madani tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegaskan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan beriman, percaya, mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada tuhan dalam suatu keimana etis, artinya keimanan bahwa tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepasa sesamanya. Tegaknya hukum dan keadilan tidak hanya perlu kepada komitmen-komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam bentuk iktikad baik untuk hal tersebut. Iktikad baik yang merupakan buah keimanan ini harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa “amal shalih”, yaitu tindakan yang membawa kebaikan untuk sesama manusia.
Masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari peri kemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara positif dan optimis. Ajaran kemanusiaan membawa konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif, dengan menerapkan prasangka baik (husnuzhan). Tali persaudaraan sesama manusia akan terbina antara lain pandangan yang pesimis dan negatif kepada manusia (QS. Al-Hujurat (49):12). Dengan dukungan mayoritas umat Islam, seharusnya masyarakat madani ini akan cepat dapat diwujudkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Karena itu, para stake holder Negara ini hendaknya memahami prinsip-prinsip masyarakat madani, sehingga dapat menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan bermasyarakat kita.

D. Piagam Madinah
Pada dasarnya, alur perjalanan sejarah Islam yang panjang itu bermula dari turunnya wahyu di gua Hira’. Sejak itulah nilai-nilai kemanusiaan yang di bawah bimbingan wahyu Ilahi menerobos arogansi kultur jahiliyah, merombak dan membenahi adat istiadat budaya jahiliyah yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Kemudian, hijrah Rasulullah ke Madinah adalah suatu momentum bagi kecemerlangan Islam di saat-saat selanjutnya. Dalam waktu yang relatif singkat Rasulullah telah berhasil membina jalinan persaudaraan antara kaum Muhajirin sebagai imigran-imigran Makkah dengan kaum Ansar, penduduk asli Madinah. Beliau mendirikan Masjid, membuat perjanjian kerjasama dengan non muslim, serta meletakkan dasar-dasar politik, sosial dan ekonomi bagi masyarakat baru tersebut; suatu fenomena yang menakjubkan ahli-ahli sejarah dahulu dan masa kini. Suatu kenyataan bahwa misi kerasulan Nabi Muhammad yang semakin nampak nyata menggoyahkan kedudukan Makkah dan menjadikan orang-orang Quraisy Makkah semakin bergetar.
Masyarakat muslim Madinah yang berhasil dibentuk Rasulullah oleh sebagian intelektual muslim masa kini disebut dengan negara kota (city state). Lalu, dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru jazirah Arab yang masuk Islam, maka muncullah kemudian sosok negara bangsa (nation state). Walaupun sejak awal Islam tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana bentuk dan konsep negara yang dikehendaki, namun suatu kenyataan bahwa Islam adalah agama yang mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan termasuk politik dan negara.
Dalam masyarakat muslim yang terbentuk itulah Rasulullah menjadi pemimpin dalam arti yang luas, yaitu sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pemimpin masyarakat. Konsepsi Rasulullah yang diilhami al Qur’an ini kemudian menelorkan Piagam Madinah yang mencakup 47 pasal, yang antara lain berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai toleransi beragama yang oleh ahli-ahli politik moderen disebut manifesto politik pertama dalam Islam.
Piagam Madinah dan Keotentikannya
Piagam Madinah ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Ibn Hisyam (w. 213 H), dua penulis muslim yang mempunyai nama besar dalam bidangnya. Menurut penelitian Ahmad Ibrahim al-Syarif, tidak ada periwayat lain sebelumnya selain kedua penulis di atas yang meriwayatkan dan menuliskannya secara sistematis dan lengkap. Meskipun demikian, tidak diragukan lagi kebenaran dan keotentikan piagam tersebut
Menurut hipotesis Montgomery Watt, bahwa Piagam Madinah yang sampai ke tangan kita sebenarnya paling tidak terdiri dari dua dokumen, yang semula terpisah kemudian disatukan. Pada tahap berikutnya, piagam tersebut mengalami pengurangan dan perombakan disana sini. Hipotesis Montgomery Watt ini muncul karena didapatinya pengulangan dalam beberapa pasalnya. Selanjutnya, Watt menyebut bahwa Piagam Madinah kemungkinan baru muncul setelah tahun 627 M, yaitu setelah pengusiran Yahudi bani Qainuqa’ dan Yahudi bani nadir dari Madinah serta pembasmian terhadap bani Quraidhah berdasarkan keputusan Sa’ad Ibn Muad, pemimpin kabilah Aus.
Hipotesa terakhir ini dikemukakan oleh Montgomery Watt karena tiga suku Yahudi terkemuka dimaksud tidak tercantum dalam Piagam Madinah. Akan tetapi, kalau demikian halnya, berarti relevansi serta bobot politiknya sudah sangat berkurang, karena isi piagam tersebut sangat diperlukan untuk mempersatukan masyarakat Madinah yang heterogen. Ini berarti bahwa Piagam Madinah disusun Rasulullah sejak awal kedatangannya di Madinah, yaitu sekitar tahun 622 M. Dengan demikian, boleh jadi Piagam Madinah hanya satu dokumen dan ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah, yang kemudian mengalami revisi setelah tiga suku Yahudi tersebut mengingkari perjanjian secara sepihak dan melakukan gerakan separatis terhadap pemerintahan Madinah yang telah disetujui bersama. 
Piagam Madinah Suatu Konstitusi
Banyak diantara penulis muslim beranggapan bahwa Piagam Madinah adalah merupakan konstitusi negara Islam pertama. Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam Piagam Madinah tidak pernah disebut-sebut agama negara. Persoalan penting yang meminta pemecahan mendesak adalah terbinanya kesatuan dan persatuan di kalangan warga Madinah yang heterogen itu. Semua warga Madinah saat itu meskipun mereka berasal dari berbagai suku adalah merupakan satu komunitas (ummah). Hubungan antara sesama warga yang muslim dan yang non muslim didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi agresi dari luar dan menghormati kebabasan beragama. Persyaratan sebuah negara, walaupun masih sederhana, telah terpenuhi, yakni ada wilayah, pemerintahan, negara, rakyat, kedaulatan dan ada konstitusi.
Kesatuan umat yang dicetuskan Nabi melalui Piagam Madinah ini, substansinya jelas menunjukkan bahwa konstitusi kesukuan runtuh dengan sendirinya. Dalam perspektif ini, maka tegaknya suatu konstitusi mulai terwujud bagi masyarakat baru Madinah, yang sekaligus juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad mulai diakui sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan politik. Sayangnya, dalam perkembangan selanjutnya ada beberapa kelompok Yahudi seperti Bani Qainuqa’, Bani Nadir dan Bani Quraidhah yang tidak setia terhadap konstitusi yang disetujui bersama. Ketidaksetiaan ini, mereka proyeksikan melalui sikap-sikap pemihakan kepada Quraisy Makkah.


PENUTUP

Kesimpulan

Dengan memahami uraian di atas, dapat dipahami bahwa politik Islam yang memiliki prinsip-prinsip yang pasti (dari Al-Quran dan Sunnah) ternyata masih jauh dari kenyataan yang ada, khususnya di Indonesia. Berbagai institusi politik yang berlabel Islam masih belum bias membawa misi politik Islam yang sebenarnya. Apa yang terjadi belum sejalan dengan Islam cita-cita (istilah Syafi’i Ma’arif), Islam normatif yang digariskan Allah dan Rasul-Nya. Masyarakat madani yang merupakan satu tatanan masyarakat ideal ditegakkan atas dasar dua semangat, yakni semangat rabbaniyah dan semangat insaniyah.
Demi tegaknya masyarakat madani adalah masyarakat keterbukaan dan kebersamaan serta persamaan hak bagi semua orang untuk terlibat dalam urusan kenegaraan dan pemerintahan. Prinsip masyarakat madani dapat mengeliminasi segala bentuk pertentangan dan konflik yang mungkin terjadi akibat pluralism yang memang menjadi ciri dari bangsa kita. Permasalahan politik Islam banyak muncul dari tengah-tengah masyarakat Indonesia, mengingat begitu banyaknya pengamat politim yang mengkonsentrasikan kajiannya dengan berlatar masyarakat Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Mardjuki, Dkk. (2008). Din Al-Islam. Yogyakarta : UNY Press.
id.wikipedia.org/wiki/Piagam_Madinah - 20k –
www.adriandw.com/piagam_Madinah.htm -

0 komentar:

 
Do you can do it?? © 2012